Terkenal sejak masa
Belanda
Kopi Dampit terkenal sampai ke Eropa, sejak masa kolonial Belanda.
Sayangnya, petani tak merasakan keuntungan. Harga kopi tetap tak beranjak naik.
Terkenal biji kopi Amstirdam akronim dari empat kecamatan terdiri atas
Ampelgading, Tirtoyudo, Sumbermaning Wetan dan Dampit.
Selama ini, ketiga desa ini merupakan penopang kopi Dampit. Selama
10 tahun terakhir, harga kopi tak menarik bagi petani dan kualitas terus
menurun.
Setelah bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno, petani
jadi memiliki pengetahuan mengolah lahan, budidaya kopi, memetik hingga tak
memiliki teknologi pasca panen. Sebelumnya, petani memetik kopi asalan, engan
pengolahan ala kadar.
Kopi biasa dijemur di lantai halaman rumah, atau di atas aspal.
Usai dijemur, biji kopi dikupas dari kulit. Hasilnya, biji kopi dijual ke Pasar
Dampit atau dikirim ke tengkulak. Harga biji kopi ditentukan mekanisme pasar,
petani tak memiliki kedaulatan menentukan harga.
Hingga medio 2014, petani didampingi Universitas Brawijaya dan
Asosiasi Petani Indonesia, belajar mengolah kopi. Mereka hanya memetik buah
kopi dengan memilih yang berwarna merah. Petani dari ketiga desa bersepakat
menggunakan nama Sridonoretno (SDR) akronim dari ketiga desa. Awalnya, hasil
buah kopi yang dipetik dipasarkan melalui kerjasama dengan PTPN XII Bangelan, Wonosari,
Kabupaten Malang.
Mereka bergabung untuk memperbaiki mutu. Lantas petani mendapat
pendampingan dan pelatihan. Para petani menyadari jika mulai budidaya, petik
dan pengolahan pasca panen menentukan kualitas biji kopi. Penyimpanan biji kopi
juga penting. Biji kopi hasil olahan petani disimpan di gudang penyimpanan
dengan menjaga suhu dan kelembaban guna menghindari jamur dan suhu dingin.
Sejak empat tahun lalu, petani menentukan harga dengan kesepakatan
bersama pembeli sesuai biaya produksi. Pada 2015, petani Sridonoretno
mengundang para pemilik kedai se-Malang Raya. Mereka berdialog multi pihak
untuk menentukan harga.
Petani menghitung harga sesuai dengan biaya produksi, dan pemilik
kedai juga menghitung harga yang pantas. Respon pasar bagus.
Harga ditentukan sampai ke kedai kopi biji kopi Rp35.000 per
kilogram, kopi asalan di pasaran Rp18.000 per kilogram, kopi hasil petik merah
dari petani Rp22.000. Petani bekerjasama dengan mitra Rembug Pawon untuk
memasarkan kopi di sejumlah kedai di Kota Malang.
Tahun berikutnya, harga biji kopi dari petani Rp35.000, harga dari
mitra ke kedai kopi Rp45.000. Meski di pasaran harga kopi sempat turun, namun
kopi Sridonoretno tetap stabil. Sekarang, harga kopi asalan di Pasar Dampit
Rp20.000. Koperasi petani kopi Sridonoretno sempat kewalahan tak bisa memenuhi
pesanan.
Tahun ini, 13 ton biji kopi robusta terserap pasar dengan seluruh
potensi panen 600 ton. Selebihnya, kopi masih jual asalan ke pasar maupun
tengkulak. Sebagian petani rela menjual murah karena pengolahan pasca panen tak
ribet.
Koperasi juga menjual daring atau dalam jaringan alias online. Penjualan secara
daring tersebar seluruh nusantara, mulai kedai kopi di Jakarta, Medan, Subang
dan Bandung. Total setiap bulan terjual sekitar 500 kilogram.
Petani
tengah mengajukan perhutanan sosial seluas 965 hektar di hutan lindung. Lahan
diajukan untuk kelola 841 petani. Kebun bakal untuk tanam kopi, cengkih dan
pisang. Juga ada tanaman sela berupa durian, manggis, sirsat, petai dan
alpukat. Sedangkan lahan dengan kemiringan 45 derajat ditanami kayu dan tanaman
buah